-->
Al Qur’an memiliki banyak keistimewaan dan kekhususan. Syaikh Muhammad Zainu manyebutkan diantaranya bahwa membacanya di waktu shalat atau diluar shalat bernilai ibadah, turunnya katentraman dan rahmat Allah s.w.t. bagi orang yang membacanya, merupakan penyembuh hati (qolbu) dari berbagai penyakit syirik, nifaq, dll. Al Qur’an juga mengandung kejujuran dalam berita yang diturunkannya dan mengandung keadilan dalam hukum-hukumnya.
Al Qur’an menghimpun berbagai kepentingan dunia dan akhirat serta segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat manusia dan kemanusiaan, termasuk di dalamnya prinsip-prinsip aqidah, hkum, politik, muamalah, akhlak, ekonomi dan masalah-masalah sosial kemasyarakatan lainnya. Maka sungguh amat wajar, jika Allah s.w.t. menyebutkan dalam salah satu ayat-Nya:
تُرْحَمُونَ لَعَلَّكُمْ وَأَنْصِتُوا لَهُ فَاسْتَمِعُوا الْقُرْآنُ قُرِئَ وَإِذَا
Artinya : “Dan apabila dibacakan Al Qur'an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (Q.S. Al A’raaf(7):204)
Karena itu pula Rasulullah saw amat senang mendengarkan kalamullah yang dibackan oleh para sahabatnya, sekalipun ayat-ayat tersebut diturunkan langsung kepada beliau seperti yang beliau perintahkan kepada Ibnu Mas’ud.
Untuk itu syaikhul Islam Ibnu Taimyyah mengatakan behwa dasar dasar pokok mendengar yang diperintahkan Allah s.w.t. adalah mendengarkan risalah yang dibawa Rsulullah saw dengan tingkat pendengaran yang membawa kepada pemahaman dan penerimaan.
Dalam rangka itu, menghadirkan konsentrasi hati bersamaan dengan kemantapan pendengaran dalam membaca kalamullah merupakan prasyarat penting untuk mencapai tingkat pemahaman dan penerimaan yang menjadi bagina sikap orang-orang beriman. Allah berfirman:
شَهِيدٌ وَهُوَ السَّمْعَ أَلْقَى أَوْ قَلْبٌ لَهُ كَانَ لِمَنْ لَذِكْرَى ذَلِكَ فِي إِنَّ
Artinya : “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya”. (Q.S. Qaad(50):37)
Berkenaan dengan ayat ini, Imam Ibnu Qoyyim menjelaskan:
“Apabila engkau ingin mengambil manfaat Al-Qur’an maka konsentrasikanlah saat menbacanya, siapkanlah pendengaran dan hidirilah seperti kehadiran orang yang hendak diajak bicara oleh-Nya. Karena Al-Qur’an adalah kalamullah memalui lisan Rasul-Nya.
Ibnu Qutaibah berkata:
“Dengarkanlah Al-Qur’an, sedangkan engkau memiliki hati dan pemahaman yang menyaksikan, tidak lalai dan tidak hilang konsentrasi”.
Dengan sikap mendengarkan kalamullah ini menurut syaikhul Islam Ibnu Taimiyahtelah membagi mereka dalam 4 golongan:
Golongan Pertama:
Adalah manusia yang berpaling dan enggan mendengarkannya, Allah s.w.t. berfirman:
تَغْلِبُونَ لَعَلَّكُمْ فِيهِ وَالْغَوْا الْقُرْآنِ لِهَذَا تَسْمَعُوا لاكَفَرُوا الَّذِينَ وَقَالَ
Artinya : " Dan orang-orang yang kafir berkata: "Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-sungguh akan Al Qur'an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya, supaya kamu dapat mengalahkan (mereka).
Ibnu Katsir mengatakan artinya jika (Al Qur’an) bibaca janganlah kalian mendengarkannya. Mujahid berkata : “(Dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya) yaitu dengan bertapuk tangan, bersiul atau mencampur adukan suara apabila Rasulullah membacanya. Demikianlah yang dilakukan orang Quraisy.
Golongan Kedua:
Adalah mereka yang hanya mendengarkan akan tetapi tidak memahami maknanya. Hal itu disebabkan karena mereka memiliki hati akan tetapi hatinya ditutupi tabir yang menghalangi dirinya dalam memahami ayat-ayat Allah. Allah s.w.t. berfirman:
يَعْقِلُونَ لافَهُمْ عُمْيٌ بُكْمٌ صُمٌّ وَنِدَاءً دُعَاءً إِلا يَسْمَعُ لا بِمَا يَنْعِقُ الَّذِي كَمَثَلِ كَفَرُوا الَّذِينَ وَمَثَلُ
Artinya : “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti”. ( Q.S. Al Baqarah(2):171)
Ibnu Katsir berkata: “Hal itu dikarenakan apa yang mereka derita berupa penyimpangan, keseatan dan kejahilan seperti binatang ternak yang tidak memahami apa yang dikatakan kepada mereka bahkan jika pengembalanya mengambil dan mengajaknya ke arah petunjuk, maka ia tidak memahami apa yang dikatakannya itu dan hanya mampu mendengar suaranya saja, demikian pendapat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Abu Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Atha, Al Hasan, Qotabah dan Rubayyi bin Annas”.
Pengertian golongan kedua ini mencakup dua kelompok manusia:
1. Orang yang tidak memahami tifsir lafadz dalm bahasa Arabnya.
2. Sekalipun ia memahaminya, ia tidak dapat mengerti hakikat yang dimaksud, seperti orang yang tidak tahu sifat tercela yang dibacanya itu tertuju pada dirinya sendiri, bukan kepada orang lain.
Golongan Ketiga:
Adalah mereka yang mendengar dan memahami kalamullah, akan tetapi is tidak menerima dan menaati kandungannya. Hal itu telah digambarkan oleh Allah s.w.t. dalam firmannya:
يَعْلَمُونَ وَهُمْ عَقَلُوهُ مَا بَعْدِ مِنْ يُحَرِّفُونَهُ ثُمَّ اللَّهِ كَلامَ يَسْمَعُونَ مِنْهُمْ فَرِيقٌ كَانَ وَقَدْ لَكُمْ يُؤْمِنُوا أَنْ أَفَتَطْمَعُونَ
Artinya : “Apakah kamu masih mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, padahal segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah mereka memahaminya, sedang mereka mengetahui?”. (Q.S. Al Baqarah(1):75)
Golongan ketiga ini mungkin identik dengan sifat dan sikap yang digambarkan Abdul Qadir Ahmad Atha yang memaparkan bahwa:
“Ia memang membaca Al Qur’an bahan mencapai tingkat hafalan yang cukup memuaskan, namun bacaan itu hanya sebatas rongga kerongkongan saja, tidak lebih. Jika Anda teliti dengan jeli, maka Anda akan mengetahui bacaan itu keluar dari hati hati yang hitam legam, nurani yang gelap, prilaku yang pahit dan amal perbuatan yang membahayakan. Orang seperti ini seperti buah Raihanah jika dicium baunya sangat sedap tapi bila dicicipi rasanya pahit menusuk lidah. Memang ia membaca Al Qur’an yang karenanya yang karenanya hati merasa tenteram seperti hati mencium harum yang semerbak. Namun, hati dan jiwanya telah terpasung oleh kejelekan. Anda akan merasakan bagaimana pahit dan menjijikannya bila Anda mengenalnya lebih jauh. Al Qur’an sama sekali tidak membekas si dalam jiwa orang seperti ini, karena memang dasar kemaksiatan dan kemunafikannya telah mengunci hatinya sehingga nasihat dan petuah tidak akan menyentuh apalagi mematangkannya.
Golongan Keempat:
Adalah manusia yang mendengarkan kalamullah dengan pendengaran yang membawa pemahaman dan penerimaan. Inilah ciri orang yang beriman.
Bacaan itu tidak sebatas ujung lisan saja, tetapi keluar dari hatinya. Dari bagian yang paling dalam itulah bacaan itu terus diulang-ulang. Yang karenanya menumbuhkan rasa takut dan petunjuk dan menciptakan sebuah gerak langkah dan istiqamah. Mereka adalah gambaran sosok yang sempurna, penuh amal bakti, bertaqwa, benar-benar menjunung tinggi nilai kebenaran dan mentah-mentah kebatilan. Allah berfirman:
مَعَ فَاكْتُبْنَا آمَنَّا رَبَّنَا يَقُولُونَ الْحَقِّ مِنَ عَرَفُوا مِمَّا الدَّمْعِ مِنَ تَفِيضُ أَعْيُنَهُمْ تَرَى الرَّسُولِ إِلَى أُنْزِلَ مَا سَمِعُوا وَإِذَا
الشَّاهِدِينَ
Artinya : “Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur'an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur'an dan kenabian Muhammad saw.)
Allah s.w.t. juga menegaskan:
يَتَوَكَّلُونَ رَبِّهِمْ وَعَلَى إِيمَانًا زَادَتْهُمْ آيَاتُهُ عَلَيْهِمْ تُلِيَتْ وَإِذَا قُلُوبُهُمْ وَجِلَتْ اللَّهُ ذُكِرَ إِذَا الَّذِينَ الْمُؤْمِنُونَ إِنَّمَا
Artinya : “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal,”. (Q.S. Al Anfal(8):2)
Wallahu a'lam bishshawaab
(Dari buku Kaifah Nathamul Quran, Syaikh Muhammad Zainu, Buletin Dakwah A-Manar, dan sumber lainnya)