Gunung Ijen dan Kegagalan Menatap Si Api Biru


keindahan panorama kawah ijen


Suatu hari di bulan April tahun 2019, saya mengantar ibunda tercinta yang sudah kangen berat dengan putra sulung dan cucunya ke ibu kota Jakarta. Saat itu saya mengajak sohib karib yang tak lain adalah putra angkat sang bunda untuk menemani jalan-jalan ke P. Jawa.

Rencana-rencana dan berbagai destinasi mana saja yang mau kita kunjungi kita pikirkan. Tapi dari semuanya kita sepakat bahwa destinasi liburan kali ini harus ada komposisi gunung dan pantai karena kami sangat cinta pada wisata alam, khususnya gunung dan pantai serta rahasia bawah lautnya.



Tapi berhubung waktu yang kita punya pada saat itu cukup pendek karena terganjal izin cuti yang sangat terbatas, akhirnya kita pilih sebuah perjalanan singkat menikmati Gunung Ijen dan kota pelajar Yogyakarta yang juga memiliki beberapa pantai yang indah serta sejarah peradaban umat manusia yang panjang.

perkenalkan sang ibunda tercinta yang suka bergaya di depan kamera


Tak perlu bercerita tentang ribetnya jalan sama ibu-ibu dari Palembang menuju Jakarta, perjalanan kami dimulai dari Stasiun Pasar Senen (PSE) menuju Stasiun Karangasem (KSE) di Banyuwangi, Jawa Timur. Sebuah perjalanan panjang yang melibatkan waktu berjam-jam.

Kami berangkat sekitar pukul 10 pagi sesuai jadwal pada saat itu dan tiba di Stasiun Surabaya Pasar Turi (SBI) sekitar pukul 01 malam untuk transit menuju kota Banyuwangi (pada saat penulisan artikel ini kayaknya jadwal kereta ekonominya sudah berubah).


ruwet dan padatnya kereta api di Stasiun Pasar Senen

Untuk menuju Banyuwangi kita perlu pindah ke Stasiun Gubeng karena tidak ada kereta api kelas ekonomi dari Stasiun Pasar Turi yang menuju Banyuwangi. Berhubung kami para pejalan irit duit (alah, bilang aja bokek) jadi kami harus pindah stasiun di tengah malam dini hari di kota yang tidak begitu kami kenal. Jalan kaki keluar stasiun sampe kami bisa pesan grab akhirnya kami menuju ke Stasiun Surabaya Gubeng dengan jadwal keberangkatan yang masih beberapa jam lagi. Jadi kami putuskan untuk mengisi perut dulu di sebuah warung makan yang tak jauh dari stasiun kereta dan lanjut ngemper di stasiun sambil menunggu jadwal keberangkatan.

Welcome to Surabaya

Kereta api jurusan Stasiun Surabaya Gubeng (SGU) menuju Stasiun Banyuwangi Kota (BWI) berangkat pukul 4.15 dengan waktu perjalanan sekitar 7 jam dan jadwal tiba di Stasiun BWI sekitar pukul 11.30. Eh meski di sini sudah sangat jauh dari kota Palembang tapi tidak ada perbedaan waktu ya karena Jawa Timur masih termasuk kawasan Indonesia Bagian Barat (WIB) dengan penyesuaian terhadap pergerakan matahari. Jadi kalau biasanya di Palembang waktu subuhnya di sekitaran jam 5 subuh, di sini subuhnya sekitar jam 4an. Jadilah kita salat subuh di kereta api.

Karangasem, I'm coming

Saat kereta api sampai di Stasiun Karangasem, kami pun turun di sini karena untuk memulai perjalanan ke Gunung Ijen stasiun inilah yang terdekat. Kita langsung mengontak seorang abang (maaf bang lupa namanya) yang punya rumah singgah di sana tempat kita bakalan numpang bermalam. Si abang juga punya sewa motor serta homestay bagi kalian yang butuh privasi dan parno sama hal yang namanya keamanan. Ya namanya rumah singgah ya kita ramean tinggal di sana.

Rumah singgahnya ternyata sangat apik dan berbeda dari yang kami bayangkan dan dari beberapa rumah singgah yang pernah kami tumpangi. Lingkungannya sangat asri, rumahnya sangat apik dan terasa mewah dengan kasur dan kamar mandi yang sangat bersih yang disediakan. Letaknya juga tidak jauh dari stasiun sehingga tidak menyusahkan.



Homestay termevvah yang pernah dikunjungi

Dasar namanya cuaca daerah pegunungan tidak bisa kita prediksi, saat sampe stasiun suasana sangat panas dan terik. Tau-tau setelah tarok tas dan bersih-bersih kita pengen mantai dulu tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Ya namanya rahmat Allah tidak boleh disangkal dan patut disyukuri, akhirnya kita nikmati siang itu dengan mandek di sebuah warung dekat stasiun dan menikmati indahnya hujan di Banyuwangi ditemani air minum sari temulawak yang katanya sangat khas di sana. Kita ngobrol banyak sama abang yang punya rumah singgah yang saat itu baru membuat instagram khusus untuk rumah singgahnya, dan beruntungnya kami termasuk yang akan pertama-tama akan diposting. (Aduhai… Meski akhirnya kami lupa untuk foto dengan latar belakang rumah singgahnya T_T). IGnya @rumahsinggahbwi dan kontak ponsel serta WAnya 081231973933. Bisa langsung kontak ke sana kalau mau numpang nginep di rumah singgah, sewa motor, homestay, trip privat dengan mobil atau motor+supir ojeknya.


Hujan mulai reda sekitar pukul 3 sore dan tanpa ba bi bu, meski masih gerimis kami langsung cau menuju ke pantai Watudodol untuk menikmati sore di sana. Pasir halus berwarna hitam dari abu vulkanis dengan latar belakang 3 buah gunung yang berjejer di jauh mata memandang, serta Pulau Bali di seberang menambah keindahan kabupaten ini.

Pulang ke rumah singgah ternyata kami ada teman nanjak bareng kakak-adik yang juga pengen nanjak ke Gunung Ijen. Sebenernya saat pagi kami tiba di rumah, sudah ada temen banyak menurut si abang yang punya. Tapi mereka sedang nanjak jadi pas kami sampe tidak ada orang dan rumah singgah berasa milik sendiri. Inilah asyiknya tinggal di rumah singgah saat akan nanjak gunung, kita bisa ketemu teman yang bisa saja menjadi rekan nanjak bareng bahkan teman main akrab selamanya. Setelah makan malem bareng, kami pun tidur beberapa jam sebelum mulai bermotor ke Paltuding yang merupakan gerbang menuju ke Kawah Ijen.



Idealnya kita mestinya sudah mulai motoran ke basecamp itu jam 23.30 waktu setempat, eh kita baru mulai jalan sekitar jam 1 dini hari karena 2 kakak-adik itu tidurnya kebablasan dan susah bener dibangunin. Masih inget sama pembahasan seputar pergerakan matahari di sini yang hitungannya lebih cepat 1 jam tadi, mestinya kita sudah berangkat paling lambat jam 00.00 supaya bisa santai nanjak dan tetep dapet pemandangan api birunya. Karena kalau matahari mulai naik dan seberkas biru di langit mulai terlihat, si api ini sudah tidak lagi terlihat lagi.

Akhirnya di Paltuding kami pisah dari mereka berdua karena mereka masih mau santai-santai di basecamp karena kedinginan dengan cuaca di punggung gunung di sana. Setelah daftar dan isi simaksi, sewa masker (emang harus karena bau belerangnya minta ampun), dan beres2 barang di tas, kami langsung lanjut jalan. Dengan target harus sampai ke puncak saat langit masih gelap akhirnya kami bergegas.


Jual belerang juga di sini yang sudah diukir jadi bunga dll. buat ole2

Butuh waktu 2-3 jam untuk sampai ke puncak gunung Ijen sesuai kecepatan berjalan. Kalau kelewat santai – yang sebenarnya itu tidak apa-apa karena mendaki gunung jangan tergesa-gesa serta sesuaikan dengan kemampuan dan vitalitas tubuh – bisa sampai 5 jam baru sampe puncak. Di tengah waktu yang agak terburu-buru, sialnya saat di perjalanan tiba-tiba perut saya terasa melilit, mual, dan terasa pengen muntah. Bongkar tas dan ternyata obat maag ketinggalan di tas yang kami tinggal di rumah singgah dan hanya menyisakan 1 botol madurasa, beberapa bungkus mie instan, kompor, dan peralatan masak di backpack yang kami bawa. Na’as hidupku harus tahan perut melilit sampe ke puncak karena masak mie bukan pilihan sehubungan target harus sampe ke puncak saat langit masih gelap.


pemandangan dari puncak G. Ijen

Perlahan tapi pasti sambil dikit-dikit setop untuk menata isi perut dan menahan mual (emang dasarnya pendaki siput sih), akhirnya kami tiba di puncak yang ternyata bukan akhir perjalanan. Kami harus turun lagi ke dasar kawah. Dan sayangnya seberkas cahaya biru di langit sudah terlihat yang menjadi penanda bahwa kami gagal untuk lihat megahnya karya Allah swt. Berupa api biru alami yang konon katanya hanya ditemukan di 2 tempat di bumi ini.




Eksotisme Ijen tidak hanya menarik wisatawan lokal

Dengan rasa patah hati dan patah semangat kami pun memperlambat langkah menuju kawah (sebenernya gak bisa ngebut juga karena jalurnya jalur batu terjal dengan hilir mudik pendaki, pewisata, dan pemanggul belerang).

syahdu

Pemandangan dan suasana di dalam kawah sangat magis dengan asap kelabu yang keluar dari tengah kawah. Pun ditambah dengan keindahan langit biru dan semburat cahaya kuning sang mentari yang turut melengkapi indahnya pemandangan di kawah pagi itu.

Berpaling dari segala keindahan tersebut, begitu matahari bersinar terang barulah terlihat pemandangan nyata dari kehidupan di Gunung Ijen.




Gunung yang menawarkan keindahan itu juga memiliki ceritanya sendiri. Cerita dimana tidak sedikit kehidupan manusia yang bergantung padanya. Bergantung pada alamnya, airnya, hasil hutannya, dan dari hasil produksi belerangnya yang memang berlimpah ruah.

Tidak sedikit pemanggul belerang yang sudah berusia renta masih naik dan turun gunung untuk menambang belerang padat untuk dijual ke pabrik pengolahan belerang yang nantinya kita gunakan untuk kosmetik, farmasi, dll. Tidak sedikit dari mereka yang tersandung, terjatuh, dan terluka kalau menurut cerita warga di sana. Semoga mereka senantiasa diberi kesehatan dan kearifan, karena sesungguhnya merekalah pahlawan yang tidak kita kenal selama ini. Tanpa mereka niscaya akan sangat sulit menemukan produk2 yang di dalamnya mengandung unsur belerang.




Tak sedikit dari mereka yang mencoba peruntungan melihat semakin majunya pariwisata Gunung Ijen dengan mulai beralih menjadi pemanggul manusia dengan kereta dorongnya bagi yang merasa tidak sanggup jalan hingga ke puncak atau sudah terlalu lelah untuk turun ke bawah. Menurut cerita bapak-bapak itu, mengantar kita ke puncak dengan kereta dorong bisa mendapat penghasilan yang jauh lebih besar dibanding menambang belerang dengan susah payah dan bertaruh kesehatan lantaran terpapar racun belerang.


Perjalanan turun gunung sangatlah menyenangkan. Antara berlari dan menggelundung, dari semula nanjaknya 3 jam turunnya cuma 1 jam lebih dikit. Karena sejak awal pendakian kita sudah diminta untuk nanjak dan terus nanjak, maka baliknya kita harus ekstra hati-hati jangan sampai tergelincir karena jalurnya cukup turun secara curam. Kaki juga harus kuat menahan diri supaya tidak gelinding gitu. Rutenya juga bukan jalan lurus sehingga jangan sampai kita kebablasan lari-lari ke bawah sampe tidak bisa ngerem pas tau-tau ada dinding batu di depan atau bahkan saat ditikungan dengan jurang terjal di dalamnya.


Tidak butuh waktu lama kami pun tiba ke basecamp lagi dan disambut hujan deras secara sangat tiba-tiba (alhamdulillah sudah sampai dan bisa berteduh). Sambil mencoba menghubungi 2 kakak-adik yang jadi teman baru kami, kami pun berteduh di salah satu bangunan yang ada di sana sambal menikmati siang kelabu dan mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan ke provinsi tetangga – Yogyakarta.


Budgetary :
  • Tiket kereta api dari Jakarta ke Surabaya (ekonomi) Rp130.000,00
  • Tarif grab/gojek antar stasiun disesuaikan sikon
  • Tiket kereta api dari Surabaya ke Banyuwangi (ekonomi) Rp56.000,00
  • Rumah singgah Banyuwangi Rp0,00 (seikhlasnya)
  • Sewa motor Rp75.000,00/hari (awal 2019)
  • Sewa masker gas lebih kurang Rp25.000,00 (tergantung nego, awal harga diminta Rp35.000,00)
  • Tiket masuk kawasan Kawah Ijen WNI Rp5.000,00 (hari libur Rp7.500,00)
  • Tiket masuk kawasan Kawah Ijen WNA Rp100.000,00 (hari libur Rp150.000,00)
  • Parkir : 
    • Roda 2 Rp5.000,00
    • Roda 4 Rp10.000,00
  • Kemah Rp5.000,00 (bisa jadi alternatif nginep)

Komentar