Tiba Di Shelter – Kabut Pekat dan Perjuangan Melawan Perihnya Sakit Maag Di Perjalanan - Trip 26-29 Mei 2022 - Part 2
Salah satu spot camping di G. Kaba |
Mendaki
gunung itu – seberapa tinggi atau rendahnya – haruslah dipersiapkan secara baik
dan matang sebelum perjalanan dimulai. Mulai dari pangan, sandang, papan, perlengkapan
keamanan, hingga obat-obatan. Fisik pun harus dipersiapkan sebaik mungkin sejak
beberapa waktu sebelum perjalan dimulai agar tubuh tidak kaget dengan perubahan
drastis aktifitas sehari-hari yang kita jalani – terutama untuk kaum mageran
seperti saya ini. Karena kalau ada saja hal yang terlupa atau tidak kita
persiapkan dengan baik, maka kita sendiri yang akan kesulitan di perjalanan. Seperti
perjalanan kali ini, lagi-lagi saya harus bisa untuk menahan perut yang bergejolak
lantaran perih maag melanda.
Saya sudah
tahu bahwa saya memiliki maag kronis yang akan segera kambuh dengan perubahan
aktifitas, cuaca, dan terutama karena telat makan. Oleh karena itu, saya sudah
menyiapkan obat pereda asam lambung semprot (spray) dan begitu banyak obat maag
tablet untuk menemani di perjalanan in case maag melanda.
Sayangnya karena
asyik leye-leye di rumah teman kami di Padang Ulak Tanding yang tepat berada di
tepi sungai yang jernih dan sangat mengundang untuk berbasah-basahan ria,
akhirnya kami kesiangan start nanjak.
Pendakian ke G. Kaba kali ini kami rencanakan selambat-lambatnya dimulai sekitar pukul 09 pagi. Namun apa daya kita orang Indonesia yang cinta budaya dan harus melestarikannya, akhirnya nanjak pun baru dimulai sekitar pukul 11.50. Biasalah, Indonesian. Janjian jam 8 tau-tau baru mulai siap-siap jam 8 kurang 5 menit. :lol
Sudah masuk
jam makan siang tapi karena semangat dan adrenal sudah mulai nanjak. Akhirnya
kami putuskan untuk langsung memulai pendakian begitu urusan registrasi di
Posko selesai.
Dan yah
benar saja, mulai setengah perjalanan perut saya mulai bergelora. Rekan lainnya
ada yang sampe muntah-muntah (tapi ini mungkin episode bersambung dari mabuk
darat di perjalanan semalamnya). Akhirnya saya mesti dikawal rekan dan rela
membuntut jalan di belakang sambil sedikit-sedikit mengunyah obat maag karena
setelah bongkar2 isi tas ternyata obat semprotnya ketinggalan di mobil.
Bener-bener dah ini otaknya udah kayak kakek tua.
Alhasil rekan-rekan lainnya sudah tiba di shelter tempat kami rencanakan untuk nenda 30 menit lebih awal dibanding saya dan para pengawal ini (rekan-rekan ter-love yang tak akan tergantikan).
Dengan
kalderanya yang besar dan luas, ada banyak pilihan lokasi untuk menggelar tenda
di sekitar puncak gunung Kaba. Kita bisa nenda di kaki puncak gajah yang memiliki
kubangan (danau tadah hujan yang cukup besar sebagai sumber air, atau nenda di
dekat kawah mati, atau bahkan tepat di bawah puncak sejati gunung Kaba, pas di
bawah tangga menuju puncak. Tapi kali ini kami memilih untuk menggelar tenda
tepat di awal pertemuan antara hutan dan pelataran shelter.
Posisi ini adalah lokasi favorit kami karena sangat dekat dengan sumber mata air mengalir yang memudahkan kita untuk akses kebutuhan air minum, masak, wudu’, bahkan buang air. Serta kemudahan akses yang diberikan saat kita akan menyusuri jalur summit yang eksotis melalui kawah mati.
Hanya kami
dan hanya kami yang ada di shelter pada saat itu. Udara dingin khas puncak
gunung sontak bikin bulu roma merinding. Kabut kelabu makin lama makin pekat
menutupi pemandangan sekitar. Paket komplit untuk menambah sakral dan mistisnya
gunung ini yang bikin pikiran makin ngelantur inget ke om Malim Bagus.
Berusaha untuk melawan rasa dingin dan kantuk, kami pun segera bongkar tas dan mulai mendirikan tenda karena takut bilamana cuaca semakin memburuk. Tak lupa satu tablet kunyah obat maag untuk kembali menghalau rasa perih yang masih menggelayut di perut buncit ini.
Hari itu
terpaksa kami batalkan untuk summit karena kabut yang pekat dan angin yang
cukup kencang membuat perjalanan menuju puncak menjadi tidak aman. Sebagai
gantinya kami pun menggelar makan besar yang sebelumnya kami rencanakan akan
kami gelar di malam hari setelah summit.
Yup, di G. Kaba ini orang biasa summit saat sore hari karena memang gunungnya tidak tinggi sehingga ada waktu yang sangat panjang setelah tiba di shelter yang rasanya mubazir jika tidak dimanfaatkan untuk summit. Tapi ya tentu saja summit di pagi hari juga bisa menjadi pilihan terbaik bagi yang demen memandangi indahnya mentari pagi.
Dengan
berbekal 3 set nesting dan kompor, sore itu kami masak nasi, ayam goreng, sop
ayam, sayuran tumis, tempe goreng, dan tidak lupa sebagai orang Palembang –
pempek yang kami goreng dengan minyak bekas gorengan ayam yang bikin rasanya jadi
campur aduk aduhay. Makanan mevvah untuk disantap di atas gunung. Sepadan
dengan perjuangan memikulnya di sepanjang perjalanan.
alhamdulillah sukses nanak nasi, ayam goreng, pempek goreng, telur orak arik, sop ayam, tumis kol, dan tempe goreng. Selamat makan besar |
Dan akhirnya setelah perjuangan panjang menahan lapar, alhamdulillah perut sudah terisi kenyang sekitar pukul 05 sore dan usai sudah perjuangan mengunyah obat maag kita hari ini.
Lanjut ke Part 3
Komentar
Posting Komentar