Berendam di Kolam Air Panas Alami di G. Kaba - Trip 26-29 Mei 2022 - Part 4

Relaksasi menikmati kehangatan air panas di kolam alami di kaki Gunung Kaba

Hecticnya dunia kerja membuat bingung untuk menyisihkan satu-satunya waktu yang dipunya. Bingung harus memilih untuk melanjutkan cerita ini atau malah rebahan di kamar sambil menyelesaikan beberapa series di Netflix yang sampe sekarang masih belom kelar-kelar. Namun kemudian terpikir jangan sampai cerita ini putus di tengah jalan karena rasa malas melanda seperti cerita Kerinci dan Kaba di pendakian pertama saya dulu.

Akhirnya menguatkan hati dan mulai menggerakkan tangan untuk mengetik dan memilah foto-foto yang jumlahnya seabrek hingga akhirnya part 4 ini dapat diselesaikan setelah vakum beberapa bulan. Alhamdulillah...


Aliran sungai air panas menuju lubuk tempat berendam

Keindahan kawah gunung yang sangat indah dan memukau mata masih terngiang hingga sekarang setelah beberapa bulan lamanya. Sungguh sebuah keindahan yang hakiki dari sang pencipta untuk memanjakan kita hamba-Nya yang tidak bisa apa-apa tanpa belas kasih, sayang, dan rahmat-Nya.

Gunung Kaba atau Bukit Kaba sebutan warga setempat tidak hanya terkenal dengan keindahan kawahnya yang rupawan dengan semburan gas belerang yang memabukkan. Tapi juga sangat terkenal sebagai penghasil sumber mata air panas alami yang konon katanya dipercaya dapat memberikan kesembuhan dari berbagai macam penyakit kulit berkat kandungan belerangnya yang tinggi. 



Di kota Curup ada berbagai tempat pemandian yang dibuka warga dengan tiket masuk yang sangat terjangkau. Tapi ada satu kelebihan yang bisa kita peroleh sebagai pendaki, yakni kita bisa menikmati kolam pemandian air panas alami di kaki gunung.

Posisi aliran air panas alami ini sesungguhnya tidak begitu jauh dari basecamp. Hanya sekitar 15-20 menit mendaki. Sehingga kalaupun kita tidak punya niat mendaki ke puncak, kita masih memiliki kesempatan untuk menikmati hangatnya pemandian alami.

Untuk kita yang mendaki, perjalanan menuju kolam pemandian air panas alami ini akan otomatis kita lewati di 2/3 perjalanan turun. Setelah lebih kurang 1 jam perjalan turun kita akan mendapati sebuah persimpangan yang juga kita temui pada saat kita mendaki.




Jalan menuju air panas ini sebenarnya memang tidak mudah untuk ditemukan apabila kita tidak tahu apa yang kita cari. Namun setelah sekitar 2/3 perjalanan turun dari arah puncak, kita akan menemui pepohonan bambu yang cukup rimbun di sisi kanan jalan (saat pendakian posisi rumpun bambu akan berada di sebelah kiri). Lalu saat kita liat ke arah kiri dengan seksama menembus semak-semak dan rerumputan kecil, kita akan melihat jalur setapak dan tangga menurun ke bawah dari lerengan punggung gunung tempat kita berdiri saat itu.

Tangga dibuat dari galian tanah yang dibendung dengan papan sehingga membentuk anak tangga. Tidak mewah namun sangat membantu memudahkan perjalanan menuruni lereng gunung menuju lembah tempat aliran air panas mengalir.

Oh terima kasih para bapak dan ibu BKSDA dan warga sekitar yang telah membuat tanggaan ini. Kami para pendaki amatir yang cepat lelah ini merasa sangat terbantu dengan adanya tangga ini. Semoga seiring kaki melangkah akan memberi pahala kepada semua yang terlibat dalam pembangunannya.




Begitu kita mulai menuruni anak tangga tersebut, kita akan seperti memasuki hutan belantara lebat. Daun-daun pepohonan mulai merapat dan kita sesekali perlu menyeka ranting-ranting pohon yang menghalangi jalan. Udara lembab khas hutan tropis sangat terasa dengan aroma dedaunan segar melingkupi udara sekitar. Sangat berbeda dengan udara gerah yang kita rasakan saat melalui jalur normal pendakian.

Tidak lama. Hanya sekitar 5 menit perjalanan menuruni anak tangga tersebut kita akan segera menapaki kaki ke sebuah aliran yang mengepulkan uap panasnya. Saran saya, kenakan sepatu kalian saat melewati aliran ini. Karena perjalanan menuju kolam penampungan alaminya akan cukup membuat kita merintih kepanasan layaknya berdiri di atas jalan beraspal di tengah gurun sahara.


Oh ya, sedari awal saya tidak ada menyebutkan serangan pacet pada saat pendakian. Itu karena sudah 2 kali saya mendaki G. Kaba memang belum pernah terasa diserang pacet di jalur utama pendakiannya. Jalur yang terang, tanah yang kering dan lebar jauh dari rerumputan mungkin adalah penyebabnya. Normalnya pacet akan menyukai area yang lembab, tanah yang gembur, penuh dengan rerumputan serta semak belukar, serta memiliki banyak rontokan dedaunan yang menutupi tanah.

Nah, serangan mereka baru akan mulai kita rasakan di perjalanan turun ke aliran air panas ini hingga menjelang tiba ke posko via jalur alternatif mengikuti aliran sungai. Bahkan jika kita awasi anak tangga yang kita lalui, sesekali bisa saja kita akan menemukan 1, 2, 3, atau bahkan 10 ekor dari mereka yang sedang menyebrang jalan di sepanjang tangga turun.

Kanopi hutan yang rimbun, semak dan perdu yang hampir menutupi tanggaan dan jalan setapak, juga tanah yang lembab. Kombinasi yang tepat untuk habitat para vampir di sana hidup dengan makmurnya. Jadi untuk yang tidak kuat mental sama makhluk ini seperti saya, selalu siapkan lotion anti nyamuk untuk dioles di kaki dengan agak tebal supaya makhluk-makhluk kecil ini tidak mau nempel di kulit kita.



airnya jernih ya, hanya terlihat kuning karna kandungan jenis belerang dan mineral lainnya di dalam air

Aliran air panas yang kita tuju ini temperaturnya agak tinggi. Uap panas akan terlihat secara jelas mengepul dari permukaan air. Pijakan dan batu yang kita lalui pun akan menghangat dan membuat kaki siapa pun akan melonjak kepanasan hingga kita akhirnya tiba di sebuah lubuk/cekungan kecil yang menjadi kolam rendam alami di sana.

Tapi lagi-lagi, ini adalah sebuah perjuangan dengan hasil yang sebanding dengan apa yang akan kita nikmati nantinya.

Perasaan lelah, letih, dan pegal-pegal sontak terasa menguap setelah menceburkan diri ke dalam air hangat ini. hangatnya air terasa membuka pori-pori kulit dan menyesapkan rasa nyaman saat berendam. Dan kandungan belerangnya membuat kita merasa ingin berlama-lama berendam sambil berharap supaya disembuhkan Allah dari segala penyakit kulit yang diderita atau mulai bersarang di badan.



menuju posko via jalur 2 (alternatif)

Air di kolam rendam ini sudah lebih dingin dibanding aliran air di atasnya. Mungkin karena airnya sudah berdiam cukup lama di cekungan ini dan uap panasnya sudah sebagian menguap ke dinginnya udara gunung.

Jangan takut terperosok ke dalam lumpur, karena aliran sungai ini membawa karat belerang dari gunung sehingga sepanjang aliran utamanya kita seolah akan menapak ke bebatuan keras. Padahal yang kita injak adalah tanah, dedaunan, bahkan bekas pakaian pengunjung tak bertanggung jawab yang ditinggal di sana dan sudah mengeras terkena aliran air gunung.





Saat berendam di kolam air hangat terbuka seperti ini, saya selalu teringat dengan perjalanan saya ke Jepang beberapa waktu lalu sebelum Covid-19 melanda dunia. Mungkin lain kali akan saya ceritakan pengalaman selama di sana meski saya tidak ikutan ke kolam air panas alaminya ya.

Tidak akan terasa lamanya waktu yang berlalu selama bermain air dan berendam di kolam ini. Istilah pewe akan sangat memenuhi jiwa dan raga dan membuat kita merasa males beranjak dari airnya.

Kami menghabiskan lebih kurang 1,5 jam hanya dengan berendam dan berseda gurau sebelum akhirnya kami diingatkan oleh gumulan awan mendung dan gemuruh guntur yang mulai saling sahut menyahut. Memaksa diri beranjak dari pemandian ini adalah sebuah hal yang sulit. Ingin rasanya begitu beranjak kami langsung bisa rebahan di kasur empuk ditemani semangkok mie instan dalam genggaman dan menyeruput hangatnya kuah mie dari balik gumulan selimut tebal.



Kami turun (atau sebenernya naik ya mengingat posisi posko/basecamp lebih tinggi dibanding aliran sungai ini) melalui jalur alternatif yang biasa digunakan orang yang hanya ingin ke kolam pemandian atau sengaja mendaki melalui aliran air panas. Butuh lebih kurang sekitar 20 menit hingga tiba di posko melalui jalur ini.

Kita akan melewati area lembab dengan semak belukar dan tanaman perdu yang menutupi jalan serta dipayungi kerindangan pepohonan yang tinggi di atas kita. Saya yang sangat takut dengan pacet terngiang perjalanan mendaki sebelumnya dimana kami saat itu juga turun melalui jalur yang sama. Dan saat tiba di pondokan di dekat pertemuan antara jalur utama dan jalur alternatif ini, ada 2 pacet yang sedang menempel di kaki.


Pondokan ini adalah tanda bahwa jalur yang kita lalui benar dan
sebentar lagi sampai ke pertemuan dengan jalur utama

Segera saya berlari menyusuri jalur dengan berusaha tidak memberi celah bagi mereka untuk menempel di kaki. Di saat tiba rekan-rekan kami memilih untuk berhenti sejenak sambil menarik napas, saya akan berlari di tempat dengan pikiran menggelayut, "apabila kaki saya terlalu lama menapak di tanah, maka mereka akan dengan mudah merayap di sana".

Dengan ngos-ngosan, kami tiba di posko dan disambut hujan lebat. Kami sangat bersyukur Allah maha pengasih lagi maha penyayang kepada kami dan tidak menurunkan hujan di saat kami masih di perjalanan.



sungai ini adalah pertemuan antara jalur pendakian 1 & 2

Sambil menunggu hujan reda, kami pun berbenah barang-barang bekal dan bawakan, jajan di warung seberang posko, mandi dan bersih-bersih, lalu bersiap untuk menuju destinasi kami selanjutnya Gunung Kaba bukanlah akhir. Kami akan melanjutkan perjalanan lagi ke kota Kepahiang untuk leye-leye di sebuah villa yang belum lama ini resmi dibuka dengan pemandangan sekitar dikelilingi kebun teh yang hijau dan indah.


Komentar